Thursday 6 February 2020

Pandangan Orang Lain kepada Diri Kita

Leave a Comment

Ada seorang santri yang diperintah oleh Kyainya untuk menjual seekor ikan hias. Ikan hias ini termasuk bukan ikan hias biasa. Ikan ini pernah memenangkan beberapa kontes perlombaan ikan hias dan memperoleh banyak penghargaan.

"Tolong kamu tawarkan ikan ini di pasar ya mas, setelah tahu harganya kamu bawa kesini lagi dan beri tahu saya harga maksimal di pasar” kata Kyai kepada santrinya.

"Enggih Kyai” jawab sang santri.

Setelah santri berjalan ke pasar, ditemuinya banyak penjual yang menawarkan harga yang jamak. Santri itu mengambil harga yang termahal, dari varian harga. Harga Rp. 5.000 paling mentok diberikan oleh seorang penjual.

Lalu santri itu pulang ke pesantren untuk menemui Kyai.

"Santri itu kemudian sowan dan matur kepada Kyai. “Kyai harganya Rp. 5.000 rupiah di pasar, apa mau saya jualkan sekarang?"

Bukannya mengiyakan, Kyai justru menyuruh santrinya itu pergi ke toko ikan hias.

"Coba sekarang kamu tanyakan harga ikan ini di toko ikan hias di utara pesantren” suruh Kyai kepada santrinya.

"Enggeh, Kyai.”

Santri pun berjalan ke utara dan bertanya harga ikan sang Kyai kepada penjual toko ikan hias, betapa takjubnya si santri dengan penawaran penjual di toko ikan hias.

“Dengan penghargaan yang seperti ini, ikan ini saya tawar Rp. 900.000 ya mas. Itu sudah harga yang paling bagus.” Ungkap penjual kepada santri itu dengan sedikit mengerutkan dahi dan mengawasi, melihat-lihat keadan ikan hias sang Kyai.

Demi melihat ekspresi sang Kyai. Dengan perasaan gembira si santri berlari dan sowan lagi kepada Kyai dan mengabarkan bahwa ikan hias berhasil ditawar dengan harga tinggi.

Setelah saampai di ndalem Kyai, dengan ekspresi biasa Sang Kyai menyuruh santrinya lagi untuk pergi ke suatu tempat di sebelah utara pesantren. Jaraknya agak jauh dan hanya bisa ditempuh dengan menggunakan sepeda motor.

Pasrah dengan perintah Kyai, santri itu pun pergi ke tempat yang Kyai maksud.

Sesampainya di tempat itu, si santri pendapati pemandangan ada beberapa orang dengan berbagai peralatan ikan. Ada makanan-makanan ikan yang asing yang tidak ditemukan di toko-toko ikan hias. Ada juga alat pendeteksi kesehatan ikan.

Deretan sertifikat kontes perlombaan ikan hias berjejer apik di dinding tempat itu.

Agak gugup, santri itu memberanikan diri menyapa dan menawarkan ikan hias yang diberikan Kyai kepadanya.

"Ini harganya paling murah Rp. 50.000.000 ya mas, gapapa ya saya beli murah, saya sedang fokus dengan perlombaan tingkat international, dana saya banyak masuk kesana semua, hehe” ucap orang yang menawar ikan hias sang Kyai.

Kaget, takjub si santri menguatkan diri.

"Se, sebentar pak. Saya tanyakan dulu ke Kyai saya. Beliau mau apa tidanya ya” si santri ternyata gagal menyembunyikan rasa gugupnya setelah ditawar dengan harga fantastis.

Santri itu pun bersegera meluncur ke ndalem Kyai untuk melaporkan harga yang sangat tinggi itu.

Dari penggalan cerita di atas. Kualitas seseorang itu membutuhkan lingkungan yang juga berkualitas.

Jika orang yang berkualitas bergaul atau tinggal di tempat yang tidak berkualitas, maka orang yang berkualitas itu akan dianggap biasa-biasa saja oleh lingkungannya dan harus rela dengan keadaan itu.

Setiap orang itu dengan kualitasnya masing-masing. Wali Allah tidak diketahui kewaliaannya kecuali oleh sesama Wali Allah yang lain. Orang pintar tidak akan diketahui kepintarannya jika dinilai oleh orang yang bodoh.

Syaikh Muhammad Sayyid Thanthawi pernah berujar.
كلنا أشخاص عاديون في نظر من لا يعرفنا
Kita adalah orang yang biasa-biasa saja di mata orang yang tidak mengenal kita
وكلنا أشخاص مغرورون في نظر من يحسدنا
Kita adalah orang yang paling menjengkelkan di mata orang yang dengki terhadap kita
وكلنا أشخاص رائعون في نظر من يفهمنا
Kita ini orang yang menarik, di mata orang yang memahami kita
وكلنا أشخاص مميزون في نظر من يحبنا
Kita adalah pribadi yang sungguh sangat istimewa di mata orang yang mencintai kita
وكلنا أشخاص سيئون في نظر من يحقد علينا
Kita adalah orang yang jahat dalam pandangan orang yang iri terhadap kita
لكل شخص نظرته
Setiap orang memiliki pandangannya masing-masing
فلا تتعب نفسك لتحسن صورتك عند الآخرين
Maka tak perlu sibuk hanya untuk terlihat baik di mata orang lain
يكفيك رضا الله عنك
Cukup Ridha Allah saja yang kau cari
رضا الناس غاية لا تدرك
Karena membuat semua manusia senang terhadap apa yang kita lakukan adalah hal yang tak pernah tercapai
ورضا الله غاية لا تترك
Sedangkan mencari keridhaan Allah adalah hal yang tak boleh ditinggalkan
فاترك ما لا يدرك
وأدرك ما لا يترك
Tinggalkan yang tak pernah tercapai, lalu capailah apa yang tak boleh ditinggal.

Kita lakukan saja apa yang menurut kita baik. Pandangan orang kepada diri kita adalah evaluasi yang bukan menjadi penentu langkah kita untuk maju ke depan. Wallahulmuwaffiq.

Read More

Wednesday 5 February 2020

Gus Sholah, tentang Pesan-pesan yang Selalu Beliau Sampaikan kepada Santri-santrinya.

Leave a Comment
Tahun 2006 di Pesantren Tebuireng diadakan serah terima kepengasuhan Pesantren dari KH. Yusuf Hasyim (Pak Ud) kepada Ir. KH. Sholahuddin Wahid (Gus Sholah). Setelah itu tahun berikutnya, 2007 Pak Ud dipanggil ke hadirat Allah SWT.

Sebelum berpulang, Gus Sholah juga mengangkat KH. Abdul Hakim Mahfudz (Gus Kikin) sebagai Wakil Pengasuh di dalam kepengasuhan Pesantren Tebuireng mulai tahun 2016. Empat tahun berselang, akhirnya Gus Sholah menghembuskan nafas terakhirnya tepat pada hari Ahad, 02 Februari 2020.

Tradisi mengangkat pengganti sebagai Pengasuh ini terbilang baru di lingkungan pesantren pada umumnya. Dimana Pengasuh Pesantren biasanya diganti setelah Pengasuh wafat.

Kami sebagai santri Tebuireng, dahulu sempat sedikit meragukan pergantian Gus Sholah sebagai Pengasuh. Entah mengapa ini juga dirasakan oleh alumni-alumni yang melihat Tebuireng dari luar.

Gus Sholah sebagai Cucu Hadratusyaikh KH. Hasyim Asy’ari lebih memilih menekuni ilmu-ilmu modern daripada belajar di pesantren dengan ilmu kitab agama yang bersumber dari kitab-kitab turats. Latar belakang sebagai lulusan ITB jurusan arsitektur membuat kami berpikiran Gus Sholah lebih mahir membangun bangunan dari pada membangun manusia. Begitu kira-kira yang ada di dalam benak kami.

Selang beberapa tahun setelah beliau menjadi Pengasuh, sedikit demi sedikit kekhawatiran kami luntur. Dalam waktu yang relatif singkat, Gus Sholah menjadikan Pesantren Tebuireng lebih memiliki kualitas. Seperti mendirikan Madrasah Muallimin Hasyim Asy’ari yang fakus dalam ilmu agama, mendirikan SMA Trensains untuk pengembangan sains dan merekonstruksi ulang IKAHA menjadi Universitas Hasyim Asy’ari.

Beliau memang tidak mengajar kitab kuning selayaknya Pengasuh pesantren lain. Beliau lebih kepada memanage sistem di dalam pesantren. Gedung-gedung baru juga beliau dirikan, mualai dari asrama, gedung pertemuan, perpustakaan, klinik. Hal ini beliau lakukan agar pesantren tidak dipandang kuno dan ketinggalan zaman.

Ada 5 pesan yang selalu beliau tidak hanya sampaikan kepada para santri-santrinya, bahkan ditulis di berbagai sudut Pesantren Tebuireng sabagai nilai dasar yang wajib diamalkan para santri. Pertama, santri Tebuireng harus Ikhlas dalam mengamalkan kebaikan.

Kedua, santri harus jujur dalam setiap tindak tanduknya. Pernah Gus Sholah menyampaikan bahwa banyaknya korupsi di negeri ini bukan karena tidak adanya orang pintar, tapi karena jarang ditemukannya orang yang jujur.

Ketiga, santri Tebuireng harulah bekerja keras untuk mencapai cita-citanya. Pejuang. Gigih dalam segala situasi dan kondisi. Karakter ini harus dimiliki para santri.

Keempat, santri Tebuireng harus bertanggujawab terhadap apapun yang mereka lakukan. Artinya harus punya kesiapan untuk mengambil resiko menghadapi tantangan zaman yang semakin tidak menentu ini.

Kelima, santri harus mempunyai tradisi tasamuh. Toleransi yang tinggi di antara kemajemukkan di negeri ini.

Diantara kelima nilai dasar santri yang tersebut. Yang paling beliau tekankan adalan nilai dasar yang pertama dan yang kedua, Gus Sholah sangat berharap 2 utama kunci sukses dalam hidup ini diterapkan santri-santrinya di seluruh belahan dunia ini.

Kini Gus Sholah telah beristirahat di Maqbaroh Pesantren Tebuireng, semoga kami para santri-santrinya bisa tetap mengamalkan apa yang dulu pernah beliau nasehatkan dan teladankan. Aamiin. Ilaa Yai Sholahuddin Wahid, Al Faatihah.. Wallahulmuawaffiq

Read More

Saturday 11 January 2020

Catatan Kecil tentang Malaysia dan singapura

Leave a Comment

Berkunjung ke luar negeri adalah salah satu cita-cita saya dalam beberapa cita-cita yang ingin saya wujudkan dalam hidup. Entah mengapa bayangan tentang “luar negeri” bagi saya adalah sebuah pencapaian luar biasa dalam hidup. Negara manapun pokoknya di luar Indonesia. Itu batin saya.

Mitos tentang luar negera yang selama ini mungkin dianggap mempunyai kepastian maju dalam perspektif masyarakat kita (atau saya sendiri). Istilah luar negeri yang mengandaikan bangsa Eropa dan Amerika dengan kemajuan-kemajuannya terbukti dengan budayanya yang kita pakai dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari cara berpakaian, alat yang kita pakai, sampai musik yang kita dengarkan dan nyanyiakan.

Alhamdulillah tersampai pada pertengahan Bulan Desember tahun 2019, akhirnya, saya pergi juga ke “luar negeri”.

Kerajaan Malaysia dan Republik Singapura menjadi 2 negara tujuan kunjungan saya. Dua negara yang masih bertetangga dengan Indonesia. Tradisi melayu yang kental, bahasa, warna kulit yang juga masih sama dengan kita.

Menilik laporan World Happiness Report 2019 yang terbit akhir Maret lalu, posisi Indonesia ada di urutan 92. Lebih baik 4 tingkat dari tahun 2018 yaitu di posisi 96. Meski begitu, peringkat ini masih di bawah 4 negara ASEAN lain. Indonesia masih kalah dibandingkan Singapura (34), Thailand (52), Pilipina (69) dan Malaysia (80).

Laporan di atas membuat saya lebih membuka mata saya lebar-lebar ketika mengunjungi dua negara yang secara tertulis lebih bahagia dari pada Indonesia itu. Secara langsung saya perhatikan di jalan. Bagaimana keadaan bangunannya, keadaan orang-orangnya, cara berbicaranya, adat istiadatnya, bentuk pemerintahannya. Meskipun tidak sevalid sebuah penelitian, minimal saya menemukan sesuatu menurut hemat pengalaman saya sendiri.

Ada masing-masing satu saja point dari masing-masing negara ini yang saya ambil.
Singapura lebih tertib dari Indonesia. Dengan luas daratan hanya 692,7 km² dengan jumlah penduduk sekitar 6-7 juta jiwa membuat negara ini sangat padat. Per km sekitar 6.000 orang kita temukan. Begitu padatnya sampai rumah tidak dibangun di atas tanah sendiri melainkan rumah dibangun dengan disusun-susun seperti apartemen dan gedung-gedung.

Hal itu tidak membuat negara ini semrawut. Semuanya yang ada dibawah pemerintahan seorang muslimah berhijab, Presiden Halimah Yacob ini berjalan dengan tertib dan teratur. Mulai kebersihan, pejalan kaki yang mengikuti aturan, mobil yang tidak terlalu banyak hingga tiang-tiang listrik yang nihil, karena semua kabel listrik dipendam di dalam tanah (ini yang paling membedakan dengan kota-kota yang ada di Indonesia, hemat saya). Banyak yang bilang Singapura adalah gambaran kota masa depan.

Point untuk Malaysia, negara ini lebih percaya diri dibanding Indonesia. Secara ekonomi Malaysia lebih percaya dengan produk-produk buatan dalam negerinya. Hal ini ditandai dengan banyaknya mobil dengan merek “Proton” yang ada di jalan raya. Produk Negeri Jiran yang diproduksi di dalam negeri sendiri. Dukungan pemerintah juga ikut mengambil andil dengan pajak rendah untuk mobil buatan sendiri dan menuntut pajak berlipat untuk kendaraan-kendaran impor.

Bentuk pemerintahan monarki konstitusional membuat negara ini cenderung stabil dalam bernegara. Bergabunganya 13 kesultanan menjadikan negara ini negara federasi yang dipimpin oleh Maharaja diberi gelar Yang di-Pertuan Agong. Meskipun ada beberapa catatan tentang kebebasan berpendapat yang kurang, negara ini berhasil membuat politiknya stabil. Negara ini juga mendapatkan predikat sebagai kesultanan tertua yang masih ada di dunia, yaitu Kesultanan Kedah yang didirikan pada tahun 1136 M.


Dua point di atas adalah sedikit saja gambaran saya secara sangat subyektif.
Saya sebagai orang Indonesia, ada satu hal besar yang tidak ada di kedua negara itu. Persatuan. Mereka belum bersatu seutuhnya dalam bahasa. Indonesia mempunya bahasa resmi yaitu Bahasa Indonesia, yang bisa dituturkan oleh mayoritas anak bangsa. De Facto dan De Jure Bahasa Indonesia menjadi primadona di negaranya sendiri. Malaysia dan Singapura belum. Bahasa mereka impor, campuran dan belum menjadi satu.

Indonesia bangsa besar yang satu, dimana tidak ada orang-orang etnis tertentu yang hidup terpisah-pisah. Semuanya bersatu. Dimana saya lihat di Malaysia dan Singapura, bangsa melayu hanya berada di komunitasnya sendiri, bangsa India/Bangla sendiri, Tionghoa sendiri. Mereka terpisah-pisah secara budaya dan bahasa. Itu juga yang saya lihat di Singapura. Mereka belum bersatu sebagai bangsa.

Hal itu pun yang membuat saya sedikit lega sebagai warganegara Indonesia, kita punya kekuatan besar yaitu persatuan. Kita tidaklah kalah sama sekali. Sedikit demi sedikit kita akan perbaiki semuanya dan bersaing dengan negara-negara itu. Wallahua’lam
Read More

Saturday 10 November 2018

Umur dan Kesetiaan Mak Rembatin

Leave a Comment
Malam sudah mengisyaratkan bergeser pada dini hari, Mak Rembatin yang sudah sepuh itu masih saja sibuk dengan gorengan dan menu minuman hangat yang ada di depan gerobaknya. Menahun sudah Mak Rembatin ini berjualan di jalan Borobudur, tepatnya di depan Masjid Sabilillah yang konon dibangun untuk mengenang jasa para pahlwan yang gugur di medan laga untuk mati-matian merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa dan negara ini.

Biasanya Mak Rembatin ini ditemani suaminya, Pak Yatmari. Tetapi kali ini berbeda, hari ini sosok remaja yang terlihat seumuranku yang menemaninya begadang.

Lha Bapak yang biasanya anteng duduk sambil terus menggoreng gorengan ten pundi Mak?”

Setelah aku tanya, Mak Rembatin kemudian menceritakan semuanya padaku, bahwa lelaki yang setia menemaninya selama 26 tahun berjualan itu sudah meninggalkan dunia, pulang di pelukan Tuhannya.

“padahal umurnya bapak masih 70 tahun, baru tiga tahun terakhir ini saya carikan rumah kontrakan sederhana untuk bapak, biar tidurnya bisa enak.”

Aku melihat air muka Mak Rembatin yang berusaha menguatkan diri demi menceritakan suami yang salalu akan ada di hatinya itu. lalu aku memalingkan obrolan kami ke arah pembicaraan yang lain.

Seperti orang-orang yang sering aku temui, Mak Rembatin juga bangga dengan pekerjaan yang dia jalani sampai sekarang, sampai usianya menjelang senja. Hal itu terlihat dari cara Mak Rembatin menceritakan awal perjalanan gerobaknya yang katanya sudah sampai ganti sebanyak 3 kali. Dia juga bercerita dimana dia membuka warungnya itu jika waktu siang tiba, ada seorang penyedia jasa sol sepatu yang sama dengan dia. Setia dengan pekerjaannya. Karirnya lebih pendek dari Mak Rembatin; 25 tahun.

Fenomena ini menurut generasiku mungkin bisa dibilang aneh, orang setia dengan pekerjaannya, yang mungkin dianggap itu-itu saja. Termasuk aku sendiri. Penyakit akutku menghampiri jika sudah ada orang yang bercerita tentang perjuangan hidup yang dijalani yang itu tidak sesuai dengan idealitas pikiranku. Aku merasa kasihan, itu penyakitku. Aku merasa kasihan berarti aku merasa lebih enak hidupnya dan orang lain lebih sengsara daripada aku. Tak henti-hentinya aku meminta ampunan pada Tuhan, berjaga-jaga agar penyakitku ini segera pergi.

Salah jika orang-orang seperti Mak Rembatin ini dikasihani, dia bisa disebut pahlawan bagi kedua anaknya. Belakangan dia juga bercerita kalau yang menemani malam-malamnya, sosok remaja seusiaku itu adalah cucunya.

nggeh kulo ini termasuk cucu Jenengan Mak”

Setelah aku ucapkan itu, agar dianggapnya aku bagian dari keluarganya, paling tidak untuk menghangatkan hati Mak Rembatin, sejurus kemudian dia tersenyum. Memang dia sosok mempesona nan sederhana, tidak pernah bicara tanpa melewatkan senyum barang sekalipun.

Dia lalu melanjutkan ceritanya, bahwa dia akan berhenti bekerja tahun depan karena merasa bahwa tubuhnya sudah tidak kuat lagi untuk berjualan. Berbeda dengan suaminya yang bekerja sampai ajal menjemput, agaknya Mak Rembatin yang dia bilang bahwa usianya ‘masih’ 64 tahun ini sudah mulai sering kecapekan dalam bekerja.

Demi mendengar itu aku mengernyitkan dahi sembari mengucapkan kata-kata yang mungkin bisa menenangkan hati Mak Rembatin.

Aku bersyukur ditemukan dengan sosok seperti Mak Rembatin, perjuangannya sederhana penuh makna. Memang kita selalu diajarkan untuk bisa belajar dari banyak orang, termasuk dari orang yang umurnya lebih tua dari kita. Begitu kata guruku sewaktu mengajarkan kitab Adaabul Aalim wal Muta’allim karangan Hadratusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari kepadaku.

Dalam kitab klasik itu dijelaskan bahwa kita harus terus berusaha mendengar (baca; belajar) dari orang yang umurnya lebih tua, belajar juga dengan orang yang seumuran dengan kita, dan juga mendengar dari yang lebih muda dari kita. Aku belajar tentang kesetiaan dan kesyukuran dini hari ini. Termasuk belajar menolong orang yang kelaparan ketika terbangun di malam hari.

Bayangkan kalau tidak ada lagi orang yang berjualan makanan sampai dini hari dan waktu subuh, akan banyak manusia-manusia seperti aku ini yang terbangun di sepertiga malam dalam keadaan kelaparan dan tidak tertolong. Benar-benar mengerikan, bukan.  Wallahul Muwaffiq wa a’lam.

وقال وكيع لا يكون الرجل عالما حتى يسمع ممن هو أسن منه وممن هو مثله وممن هودونه
Read More

Wednesday 13 December 2017

Fikri, Guru Ngaji Sabilillah yang Kembali ke Jalanan

Leave a Comment

M. Royhan Rikza

"Boy, aku ate nang Malang. Ngopi yuk" pesan saya yang terbang melalui sosial media.
"Oke cak. Ngopi mburi UIN ya" balasnya.

      Dia, Fikri, panggilannya, adik kelas saya semasa kuliah sejuruan di UIN Malang. Po, demikian, Gus Moh Isomuddin Rosyidi, memanggilnya akrab. Po alias Fikri ini, kalau bicara, bak kyai sepuh yang sedang memberikan petuah. Sangat bijak. Saking bijaknya, ia tak tahu kalau yang dibicarakannya itu mengandung unsur mistis. Bagi pendengarnya, bisa langsung tersihir. Tapi sayang, kebijakannya dalam mengungkapkan apapun, apalagi tentang isi hatinya, belum berbuah pada hati perempuan mana takdirnya berlabuh.

      Kami kongkow. Apapun dibicarakan. Lama betul kami tidak ngopi. Sejak dia jadi guru di SD Sabilillah, jarang ada waktu yang pas untuk ngopi. Ada kemudian Lukman Moh Lukman Saidy (yang jadi tukang foto) yang sesekali serang Raudlatul Fikri lewar gojlokannya. Tapi Fikri sudah punya titel KH (Kebal Humor), mbok yo mau disikat, ditendang, bahkan sampai mau dilempar pada jurang tawa yang meledak-ledak, ia ceuk aja.

      Kini dia kembali ke habitatnya. Menggali jati diri. Mungkin istilah yanh pas Nyufi Ningrat di tengah hiruk pikuk dan gemerlap Kota Malang. Sambil dzikiran di atas sepeda motornya, atau sewaktu negosiasi konsumen untuk usaha kaus-kausnya, hatinya tak lupa pada Gusti Kang Paring Rohmat.

      Dia belum lama ini, undur diri dari SD Sabilillah. Apa gerangan? Yang kepo, tanya langsung saja ke Mas Konveksi--sebutan lain karena dia punya usaha Konveksi. Paling tidak, dan ini sepengalaman saya yang pernah tinggal se-kos dengannya, diam-diam naluri 'berontanya' karna ditindas sistem, muncul bak hantaman yang meresahkan sesiapapun. Tapi ini bukan alasan paten. Karna saya tau kok, wajah dan hati Fikri ini lembut. Haha...

      Bagaimana pun, jalan terjal bagi petualang adalah ilusi. Sebelum benar-benar menikah, Fikri, tetap akan angkat tangan kiri, mengepalkan tangannya, dan berteriak "Hanya pada pemuda yang jomblo lah, hakikat idealisme para pemuda akan terawat!!!" Tapi, apa dia masih golongan pemuda? Wallahu a'lam

 
Read More

Tuesday 13 December 2016

Mbah Kiai Idris Kamali, guru Kiai Tholhah*

Leave a Comment

Oleh: Raudlatul Fikri**

            Siapa yang tidak mengenal tokoh Ulama Nasional sekaliber KH. Ma’ruf Amin Rais Aam PBNU, Prof. Dr. KH. M Tholhah Hasan mantan Menteri Agama era Presiden Gus Dur, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta Alm. Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Ya’qub MA., Alm. KH. Ishaq Latif, Dr. KH. Musta’in Syafi’i, M.Ag Tebuireng, Ulama sepuh Jakarta KH. Abdul Hayyie M. Na’im. Tentunya orang-orang yang tersebut tidaklah asing di telinga umat Islam, terutama kaum Nahdliyin.

            Kebesaran tokoh-tokoh di atas adalah bukti kebesaran dan kerendahan hati Guru beliau-beliau ini, yaitu KH. Idris Kamali. Seorang Kiai bersahaja yang melahirkan tokoh dari tangan dinginnya. Dibuktikan dengan lahirnya para tokoh nusantara, mulai dari Kiai hingga Menteri, ternyata dulu adalah murid-murid beliau di Tebuireng. Ada juga yang menjadi kepala lembaga pendidikan besar, menteri, birokrat, pengusaha. Semua murid didikan Kiai Idris memegang peran penting di dunianya masing-masing.

Beliau dikenal sebagai guru yang disiplin dan ketat dalam mengajar. Begitu juga dengan murid-muridnya, beliau pasti tahu kalau ada yang tidak masuk tanpa izin. Tidak mudah untuk menjadi murid didikan Kiai Idris, Kiai Idris memang tinggal di Tebuireng tetapi bukan berarti semua santri saat itu bebas bisa menjadi santri beliau, santri didiakan beliau hanya sekitar 20an. Ada beberapa sayarat dan ketentuan yang harus dipenuhi. Mulai dari shalar berjama’ah yang tidak pernah bolong, rajin belajar, tidak pernah bolos dalam pengajian, dan sebagainya.

Sebelum mengaji kepada Kiai Idris, calon-calon murid terlebih dahulu harus menghafal kitab dasar yang telah ditentukan. Misalnya, ketika ada yang ingin mengaji kitab Syarh Mutammimah, maka ia harus hafal kitab Al Jurumiyah.  Ketika ingin mengaji kitab Ibnu Aqil, maka harus hafal Nadzam Al Fiyyah Ibnu Malik terlebih dahulu.

Kalau ingin mengikuti pengajian kitab shahih Bukhari atau Shahih Muslim, maka si santri harus hafal Nadzam Baiquniyah sebagai ilmu haditsnya. Juga harus hafal kitab usul fiqhnya yakni al Waraqaat. Hal itu berguna untuk memahami hadits-hadits pada kitab shahihayn tersebut.

Hafalan-hafalan tersebut tidak sekedar persyaratan, tetapi juga terus diperhatikan oleh Kiai Idris. Setelah si santri sudah menyetorkan hafalannya, langkah berikutnya harus berjanji untuk mengikuti pengajian Kiai Idris dengan Istiqomah. Tidak boleh mementingkan kegiatan lain di luar belajar dan mengaji. Kalau ada santri yang bolos atau alpa, maka Kiai Idris akan marah dan menjatuhkan hukuman kepada si santri dengan diperintahkan untuk memohon maaf kepada orangtuanya. Menurut beliau, santri yang bolos bukan hanya berdisa kepada guru, akan tetapi juga kepada orang tua di rumah yang susah payah membiayai.

Hijrahnya Kiai Tholhah Ke Malang
            Sekitar tahun 1957, KH. Masykur (mertua KH. Tolhah Hasan) ingin membuka Madrasah Tsanawiyah. Lalu beliau datang ke Tebuireng ingin mencari guru, sowan  kepada Mbah Kiai Idris. Belum sampai 10 menit beliau berbincang-bincang, datanglah Mbah Kiai Mahrus Ali, Lirboyo Kediri. Kedatangannya dengan maksud yang sama, untuk mencari guru. Beliau berdua sama-sama dari Cirebon. Kemudian Mbah Idris berkata, “Saya ini punya santri yang barangkali bisa membantu kiai-kiai mendirikan madrasah-madrasah. Ini, namanya Tholhah,” ucap Kisi Idris sambil menunjuk diri Kiai Tholhah.

            “Karena Kiai Masykur datangnya lebih dulu, nanti Kiai Mahrus saya carikan yang lain lagi,” ucap beliau.

            Akhirnya Kiai Tholhah Muda diserahkan kepada Kiai Maskur karena beliau lebih dulu datangnya dari pada Kiai Mahrus. Meskipun begitu, hubungan Kiai Tholhah dengan Kiai Mahrus masih baik. Bahkan ketika menikah di Singosari, beliau-beliau datang semua; Mbah Kiai Idris, Mbah Kiai Maskur, Mbah Kiai Mahrus Ali.

            Semenjak saat itu, Kiai Tholhah yang berasal dari tuban berkiprah di Kota dingin ini dan membangun sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah berbasis Islam seperti yang di dawuhkan oleh Kiai Idris, Guru beliau. Wallahu A’lam
           

*disarikan dari Buku “Tokoh Besar Dibalik Layar: KH. Idris Kamali” Oleh Tim Penulis, Penerbit: Pustaka tebuireng
**Guru Sekolah Dasar
Read More

Friday 9 December 2016

Pesan Kiai Tholhah Hasan untuk Seorang Guru

Leave a Comment
Oleh: Raudlatul Fikri*

Prof. Dr. KH. Muhammad Tholhah Hasan adalah pakar dalam bidang pendidikan Islam yang memiliki reputasi Internasional. Beliau dilahirkan pada hari Sabtu Pon, 10 Oktober 1936 di Tuban Jawa Timur, dari pasangan Tholhah dan Anis Fatma, sedangkan kakeknya bernama Hasan. Beliau adalah anak pertama dari dua bersaudara, dan adik beliau bernama Afif Najih. Sejak usia kanak-kanak beliau ditinggal oleh ayahnya untuk menghadap Sang Khalik (wafat) kemudian beliau ikut kakek dan neneknya di Lamongan. Sejak saat itu nama ayah dan kakeknya digunakan menjadi satu kesatuan dengan nama beliau yang semula hanya Muhammad sehingga menjadi Muhammad Tholhah Hasan, yang sekarang panggilan akrab beliau yaitu “Kiai Tholhah”. Masa lajangnya diakhiri sejak beliau menjadi menantu KH. Masykur (mantan Menteri Agama Kabinet Amir Syarifuddin dan Kabinet Ali Sastro Amijoyo dan Mantan ketua DPR-MPR Kabinet Pembangunan III). KH. Muhammad Tholhah Hasan mulai saat itu didampingi seorang istri bernama Hj. Solichah Noor (anak angkat KH. Masykur yang sebetulnya masih keponakannya sendiri).[1]

Mantan Menteri Agama era Presiden Gus Dur ini mempunyai segundang prestasi, utamanya dalam dunia pendidikan. Kiai Tholhah sangat konsen pada bidang ini, Beliau banyak mendirikan lembaga ataupun sekolah dengan basis Islam, di antaranya; ikut mendirikan MTs, MA, SD Islam, SMA Islam, SMP Islam, TK, SMK Islam semuanya dalam satu naungan di bawah pengelolaan Yayasan Pendidikan Al Ma’arif Singosari Malang, mendirikan TK, SD Islam, SMP Islam, SMA Islam Sabilillah Malang yang pengelolaannya di bawah Yayasan Sabilillah Malang (LPI Sabilillah) dengan sistem Full Day School dan menjadi sekolah-sekolah favorit di Malang, dan lain-lain.[2]



Kiai yang juga santri Pondok Pesantren Tebuireng (1956) ini juga banyak produktif menulis karya, diantaranya; Islam Dalam Perspektif Sosio-Kultural, Prospek Islam dalam Menghadapi tantangan aman, Kado untuk Tamu-Tamu Allah, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia, Dinamika Kehidupan Religius, Diskursus Islam Kontemporer, Ahlussunah wal Jama’ah Dalam Persepsi dan Tradisi NU, Agama Moderat, Pesantren dan Terorisme, Apabila Iman Tetap Bertahan, Pendidikan Islam Sebagai Uapaya Sadar Penyelamatan dan Pengembangan Fitrah Manusia, Wawasan Umum Alhussunnah wal Jama’ah, Dinamika Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Pendidikan Usia Dini Dalam Keluarga.[3]

Prestasi dan kiprah beliau yang begitu gemilang tentu tidaklah didapat dengan mudah. Beliau bercerita, dulu ketika beliau masih duduk di bangku sekolah dasar pernah diperlakukan berbeda dengan siswa-siswa yang lain lantaran masalah ekonomi. Ceritanya, ketika itu Kiai Tholhah kecil masih kelas 3 Sekolah Dasar. Sekolah mengadakan kunjungan wisata ke suatu tempat dengan kompensasi siswa harus membayar uang dengan jumlah tertentu untuk bisa ikut. Acara itu memakai kendaraan truck untuk mengangkut para siswa ke tempat tujuan. “waktu itu saya tidak punya sejumlah uang itu, karena saya termasuk dari keluarga yang tidak punya”, kata Kiai asal Tuban ini bercerita. Karena keinginan Kiai Tholhah kecil yang sangat ingin ikut berwisata bersama dengan teman-teman, beliau memberanikan diri untuk ikut naik di atas truck tanpa membayar uang wisata. Namun kemudian ada salah satu guru yang naik ke atas truck  dan bertanya kepada seluruh siswa siapa yang belum membayar wisata. Bagi yang belum membayar, tidak boleh ikut. Dengan polosnya Kiai Tholhah kecil mengaku bahwa dirinya belum membayar. Tanpa pikir panjang dan penjelasan ataupun pemahaman pada Kiai Tholhah kecil, guru tersebut langsung menurunkan Kiai Tholhah kecil. Sontak Tholhah kecil menangis sejadi-jadinya karena keinginannya untuk berwisata bersama teman-teman sebayanya tidak tersampaikan.

            Untung waktu itu ada nenek Kiai Tholhah kecil, didekapnya anak itu erat-erat sampai jatuh pula peluh di sudut matanya, tak kuasa ikut merasakan perasaan anak kecil miskin yang dianaktirikan oleh seorang oknum guru. Wanita paruh baya itu membesarkan hati Kiai Tholhah kecil agar bersabar karena semuanya akan digantikan oleh Allah SWT. “Anda sekalian, sebisa mungkin jangan jadi seperti guru ini” kata Kiai Tholhah kepada kami waktu itu yang mendengarkan cerita Beliau juga menambahkan, menjadi seorang guru memang tidaklah mudah, tetapi keadilan dalam mendidik anak itu sangat penting sekali untuk dilakukan. Adil bukan berarti sama banyak, adil adalah memberikan sesuatu sesuai dengan porsinya masing-masing. Jangan karena urusan ekonomi kemudian ada anak yang tidak bisa membayar diturunkan begitu saja tanpa ada penjelasan apapun. Itu sangat menyakitkan.

            Dengan latar belakang masa kecil yang serba kekurangan itu tidak membuat Kiai Tholhah putus harapan dalam urusan pendidikan. Dengan dukungan penuh dari keluarganya Kiai berumur 80 tahun ini bisa melanjutkan pendidikan, bahkan sampai pada puncak karir akademis, yaitu mampu meraih gelar Profesor di bidang pendidikan Islam.[4] “Alhamdulillah, ternyata Allah benar-benar menggantinya, saya sudah pergi ke 5 benua di dunia, itu pun gratis, tanpa membayar uang sepeserpun”.[5]

            Itu sepenggal cerita dari “Kiai tanpa Pesantren” ini, setidaknya bisa kita ambil beberapa pelajaran dari kisah ini. Pertama, hidup seberat apa pun itu adalah sebuah ujian bagi kita, jika kita bisa mengarunginya maka kesuksesan yang akan kita raih. Tentunya ketika dijalankan dengan niat yang tinggi untuk meraih cita-cita. Kedua, nasihat untuk seorang guru, menjadi pendidik memang tidaklah mudah, terkadang ada saja tingkah dan prilaku siswa/santri yang membuat seorang guru jengkel. Di situ, profesi mulia ini diuji, kebijaksanaan dalam penanganan siswa menjadi sebuah tuntutan. Keadilan seorang guru dalam perlakuan terhadap siswa/santri juga menjadi pertaruhan pahlawan tanpa tanda jasa ini, tentunya adil bukan berarti harus sama, tetapi proporsional. Wallahu A’lam

Malang, 10 Desember 2016
*Guru Sekolah Dasar



[1] Siska Ainin Jariyah, Kualitas Proses Pendidikan Terhadap Tingkat Keberhasilan siswa (Surabaya: Makalah UIN SA, 2008). Hlm. 21
[2] M Tholhah Hasan, Ahlussunah wal-jama’ah dalam persepsi dan tradisi NU (Jakarta: Penerbit Lantabora & Unisma Press, 2015. Catatan Buku, Cetakan ke-6
[3] Ibid
[4] Guru Besar dalam Ilmu Pendidikan Islam, SK Mendiknas RI Nomor 46129/A2.7/KP/2006. Tanggal 31 Juli 2006 di Jakarta.
[5] Cerita ini disampaikan pada Pembukaan HUT ke-20 Tahun Lembaga Pendidikan Islam Sabilillah Malang dan Tasyakuran Peringatan Ulang Tahun ke-80 Prof. DR. KH. Muhammad Tholhah Hasan di SD Islam Sabilillah Malang pada tanggal 10 Oktober 2016.
Read More